Blogger news


Pages

Minggu, 20 Januari 2013

Diversifikasi Pangan


Diversifikasi Pangan

Diversifikasi Pangan merupakan upaya penganekaragaman makanan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman. Melalui diversifikasi pangan diharapkan kita tidak lagi bergantung pada satu bahan pangan saja, melainkan memanfaatkan sumber daya lokal sebagai sumber pangan pokok. Untuk itu, blog jurnal diversifikasi pangan ini dioperasikan untuk memperkaya data dan informasi mengenai upaya diversifikasi pangan di Indonesia.
sumber :http://jurnaldiversifikasipangan.blogspot.com/p/foto.html

Selasa, 15 Januari 2013

Gali Kearifan Lokal untuk Ketahanan Pangan Nasional

Gali Kearifan Lokal untuk Ketahanan Pangan Nasional
Oleh : James P. Pardede. Cita-cita seluruh rakyat Indonesia adalah bisa sejahtera dengan hasil jerih payahnya sendiri, bukan tergantung pada bantuan orang lain atau negara lain. Dalam konteks memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS) tahun ini, kita harus menjadikannya sebagai momentum untuk menentukan langkah penting yang akan ditempuh dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang terutama dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Seruan pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan adalah dengan melakukan diversifikasi pangan, salah satu tujuannya untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras. Dalam banyak hal, upaya pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan melalui diversifikasi pangan masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. 

Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS, beras saat ini masih menjadi makanan pokok hampir seluruh penduduk Indonesia (hampir sekitar 95 persen dari jumlah penduduk Indonesia). Kemudian, sejumlah data penelitian mengungkapkan, bahwa selain mayoritas pola pangan beras, sebenarnya masih ada dua pola pangan minoritas. Pertama, pola beras, jagung, dan singkong di Nusa Tenggara Timur. Kedua, pola beras, ubi, dan sagu di Maluku dan Papua. Di Jawa Tengah, dan bagian timur Jawa Timur ditemukan kantong-kantong daerah jagung. Juga ada pola pangan utama sagu dan umbi-umbian yang masih bertahan di beberapa daerah terisolir.
 

Mengantisipasi hal ini, pemerintah juga sudah sejak lama menganjurkan masyarakat untuk lebih menganekaragamkan konsumsi bahan makanan. Sejak kepemimpinan Bung Karno, telah ada upaya menganjurkan masyarakat untuk mengonsumsi jagung, ubi, sagu dan yang lainnya selain beras. Dulu, kita memang pernah swasembada beras dan pernah sampai ekspor. Namum, karena produksi beras amat tergantung pada alam seperti musim kering, banjir dan hama penyakit, ini yang menjadi alasan kuat bagi pemerintah dalam mengimpor beras.

Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Sumut, Setyo Purwadi menegaskan bahwa sampai hari ini pemerintah terus berupaya semaksimal mungkin dalam meningkatkan produksi pertanian guna memperkuat ketahanan pangan. Dalam skala nasional, ada tiga program yang diterapkan untuk memperkuat ketahanan pangan itu yakni peningkatan produksi pertanian, pengendalian alih fungsi lahan pertanian, dan mengurangi konsumsi beras.

Dalam realitanya, lanjut Setyo Purwadi hasil yang didapatkan sering belum memuaskan meski pemerintah selalu mengeluarkan anggaran besar, termasuk pemberian pupuk untuk meningkatkan produksi pertanian masyarakat. Alih fungsi lahan yang terus terjadi dan pesatnya pertambahan jumlah penduduk telah mempengaruhi produksi pertanian masyarakat. Produksi beras terkadang belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat.

Selain meningkatkan produksi pertanian dengan berbagai cara, pengendalian alih fungsi lahan pertanian dilakukan dengan membuka lahan baru (lahan tidur), kata Setyo, perlu juga diciptakan sebuah program yang dapat mengurangi konsumsi beras dan memperkuat ketahanan pangan, antara lain dengan memanfaatkan kearifan lokal yang cukup banyak terdapat di tanah air.

"Dari ketiga program skala nasional itu, konsep pengurangan konsumsi beras diperkirakan paling efektif untuk memperkuat ketahanan pangan, khususnya di Sumut. Hal itu dilakukan agar beras yang menjadi makanan utama masyarakat dapat dihemat dan digunakan pada masa sulit," paparnya.

Program diversifikasi pangan dengan menggali kearifan lokal diharapkan dapat diterapkan di Sumut, bahkan secara nasional. Siapa yang tak kenal dengan ubi (singkong) dan ubi jalar yang sudah sejak lama tumbuh subur di daerah Sumut. Ubi dalam bahasa Batak berarti ‘gadong’ dan makan ubi berarti ‘manggadong’. Manggadong menjadi salah satu tradisi dan budaya konsumsi yang telah diterapkan leluhur etnis Batak sejak dulu.

"Manggadong adalah budaya etnis Batak yang mengonsumsi ketela sebagai makanan pembuka sebelum menikmati nasi. Dengan menikmati ketela terlebih dulu, masyarakat Batak tidak perlu mengonsumsi nasi terlalu banyak karena perutnya telah terisi dengan makanan tersebut," jelasnya.

Menggali Sejarah
 

Dengan adanya tradisi yang sudah ada sejak jaman dulu ini, kata Setyo, tak ada salahnya dibangkitkan kembali. Ada harapan, konsep yang diterapkan di Sumut ini dapat menjadi program nasional sehingga konsumsi rakyat terhadap beras dapat dikurangi. Manggadong, seperti disampaikan Setyo, juga didesain untuk mempromosikan ketahanan pangan. Yakni dengan mensosialisasikan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal di Sumut. Tradisi ini dimaknai sebagai suatu "kearifan lokal".
 

Beberapa waktu lalu, Pemerintah Propinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) bekerjasama dengan BKP, Universitas Sumatera Utara (USU), mahasiswa serta siswa-siswi sekolah lanjutan di Medan berhasil memecahkan rekor MURI untuk kategori peserta terbanyak makan ubi jalar atau manggadong dengan peserta 18.829 orang. Rekor tersebut memecahkan rekor sebelumnya di Sulawasi Tengah dengan jumlah peserta 10.279 orang.

Apakah program dan sosialisasi penganekaragaman konsumsi pangan ’manggadong’ ini hanya berhenti pada perolehan Rekor MURI - Setelah itu, langkah apa yang akan dilakukan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Jika kita kembali menggali sejarah manggadong di kalangan orang Batak, ada persepsi yang kemudian menjadi alasan mengapa kebiasaan manggadong semakin ditinggal di Sumut.
 

Bagi sebagian suku Batak pada masa lalu sampai sekarang, mengonsumsi nasi dianggap sebagai "kemewahan" dan ubi diasosiasikan sebagai "simbol kemiskinan". Persepsi ini, di satu sisi, melahirkan suatu sikap terhadap nasi dan ubi. Para orang tua sangat mengharamkan untuk membiarkan sebutir padi atau beras terbuang sia-sia. Mereka selalu mengajarkan agar setiap orang menghargai padi dan nasi. Pada saat makan, anak-anak dilarang membuang sebutir nasi, secara tidak sengaja dan apalagi sengaja. Bila ketahuan akan mendapat ganjaran.

Di sisi lain, persepsi tentang ubi sebagai "simbol kemiskinan" telah membuat beberapa orang Tapanuli tidak mau atau menolak memakan ubi. Barangkali, persepsi tersebut juga memiliki signifikansi terhadap motif agresivitas mereka merantau meninggalkan bona pasogit (kampung halaman). Mereka berhasrat untuk "keluar dari kemiskinan" dan membentuk citra masa depan yang ditandai dengan pola konsumsi tidak manggadong lagi.
 

Ini mengindikasikan bahwa semangat merantau itu, meminjam ungkapan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Cerita dari Jakarta (1957), juga diwarnai anggapan bahwa "dalam kampung kita, kemiskinan telah membunuh semua cita-cita." Termasuk cita-cita untuk mengubah jenis makanan yang dikonsumsi sebagai cermin status sosial.

Lantas, apa yang salah dengan ubi atau singkong - Apakah dengan mengonsumsi singkong seseorang langsung melekat dengan simbol kemiskinan - Sebutan demikian semakin memojokkan nasib singkong untuk dikategorikan sebagai makanan inferior. Masyarakat Indonesia pun semakin lama semakin sedikit jumlahnya yang mau mangonsumsi singkong. Bahkan di kalangan masyarakat Batak yang dulu melakoni pola makan menggadong secara perlahan melupakan kearifan lokal ini dan menjadikan beras sebagai makanan pokok dan utama. Serbuan restoran fast food di kota-kota besar semakin menambah daftar pilihan masyarakat dalam memilih makanan.

Munculnya kembali kampanye manggadong sebagai salah satu kearifan lokal Sumut diharapkan dapat menyadarkan masyarakat akan arti pentingnya ketahanan pangan nasional. Menurut Kepala Pusat Penelitian Ketahanan Pangan dan Agribisnis Lembaga Penelitian USU Ir Hasudungan Butar-butar, program manggadong dengan menjadikan ubi atau ketela sebagai makanan pembuka sebelum nasi perlu didukung, karena ketersediaan beras di Sumut mulai mengkhawatirkan.
 

"Dengan kondisi seringnya anomali cuaca dan banyaknya alih fungsi lahan, produksi beras sangat fluktuatif dan bahkan terus menunjukkan tren menurun. Ironisnya, tingkat konsumsi masyarakat Sumut terhadap beras cenderung meningkat dan mencapai 139 kilogram per kapita per tahun. Padahal, beberapa tahun lalu hanya sekitar 125 kilogram per kapita per tahun," paparnya.
 

Pihaknya juga sangat mendukung upaya Pemprov Sumut melakukan diversifikasi pangan, termasuk dengan mengampanyekan manggadong. Jika tidak ada diversifikasi, dikhawatirkan upaya menciptakan ketahanan pangan di Sumut sulit dilakukan dan dapat berujung pada terciptanya masyarakat yang lapar.

Dukungan yang disampaikan Hasudungan Butar-butar juga senada dengan salah seorang Anggota Komisi B DPRD Sumut, Layari Sinukaban. Dimana, Layari menyambut baik adanya upaya pemerintah dalam melakukan diversifikasi pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Salah satu upaya yang dilakukan di Sumut adalah manggadong. Konsep ini perlu dikampanyekan untuk memperkuat ketahanan pangan. Selain bermanfaat mengurangi ketergantungan terhadap beras, program ini juga diperkirakan dapat menyemarakkan keanekaragaman kuliner di Tanah Air yang sempat hilang pada masa Ode Baru.

Ketika masyarakat telah merasakan manfaat dari manggadong, lanjutnya, secara otomatis masyarakat akan mengurangi sendiri konsumsi beras dalam kehidupan sehari-hari. Program manggadong ini sebenarnya bisa digiring ke arah yang lebih modern. Yaitu, mengolah ubi, jagung atau sagu menjadi kue, kolak, keripik, tape atau bentuk olahan lainnya yang lebih menggugah selera. Anjuran agar beberapa restoran menyediakan ubi sah-sah saja asal jangan diintervensi. Program diversifikasi terus dijalankan, namun yang terpenting adalah, jangan ambil kebijakan pengurangan pasokan beras.
 

Sukses tidaknya kampanye ’manggadong’ serta kearifan lokal di daerah lain di Indonesia, sangat ditentukan oleh seluruh elemen yang terlibat langsung dengan sektor pertanian, khususnya Dinas Pertanian dan BKP. Segala bentuk kebutuhan untuk memproduksi ubi, mulai dari pupuk, bibit hingga penyuluhan bercocok tanam harus diutamakan agar makanan pengganti nasi itu selalu mudah didapatkan masyarakat.

Tersedianya bahan pangan dalam jumlah memadai dengan harga terjangkau dan kualitas yang baik akan memengaruhi keputusan konsumen dalam menganekaragamkan konsumsinya. Meski dianjurkan untuk mengonsumsi ubi atau jagung selain beras, bila barangnya susah didapat dan harganya tidak terjangkau, maka anjuran itu akan sulit terlaksana. Sekaranglah saatnya kita bergandeng tangan mewujudkan ketahanan pangan dengan menggali kearifan lokal di daerah masing-masing.
 

* Penulis adalah jurnalis tinggal di Medan
Sumber. http://www.analisadaily.com