Oleh : James P. Pardede. Cita-cita seluruh rakyat Indonesia adalah
bisa sejahtera dengan hasil jerih payahnya sendiri, bukan tergantung pada
bantuan orang lain atau negara lain. Dalam konteks memperingati Hari Pangan
Sedunia (HPS) tahun ini, kita harus menjadikannya sebagai momentum untuk
menentukan langkah penting yang akan ditempuh dalam jangka pendek, menengah
dan jangka panjang terutama dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Seruan pemerintah untuk mewujudkan ketahanan
pangan adalah dengan melakukan diversifikasi pangan, salah satu tujuannya
untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras. Dalam banyak hal,
upaya pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan melalui diversifikasi
pangan masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS, beras saat ini masih menjadi
makanan pokok hampir seluruh penduduk Indonesia (hampir sekitar 95 persen
dari jumlah penduduk Indonesia). Kemudian, sejumlah data penelitian
mengungkapkan, bahwa selain mayoritas pola pangan beras, sebenarnya masih ada
dua pola pangan minoritas. Pertama, pola beras, jagung, dan singkong di Nusa
Tenggara Timur. Kedua, pola beras, ubi, dan sagu di Maluku dan Papua. Di Jawa
Tengah, dan bagian timur Jawa Timur ditemukan kantong-kantong daerah jagung.
Juga ada pola pangan utama sagu dan umbi-umbian yang masih bertahan di
beberapa daerah terisolir.
Mengantisipasi hal ini, pemerintah juga sudah sejak lama menganjurkan
masyarakat untuk lebih menganekaragamkan konsumsi bahan makanan. Sejak
kepemimpinan Bung Karno, telah ada upaya menganjurkan masyarakat untuk
mengonsumsi jagung, ubi, sagu dan yang lainnya selain beras. Dulu, kita
memang pernah swasembada beras dan pernah sampai ekspor. Namum, karena
produksi beras amat tergantung pada alam seperti musim kering, banjir dan hama
penyakit, ini yang menjadi alasan kuat bagi pemerintah dalam mengimpor beras.
Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Sumut, Setyo Purwadi menegaskan bahwa
sampai hari ini pemerintah terus berupaya semaksimal mungkin dalam
meningkatkan produksi pertanian guna memperkuat ketahanan pangan. Dalam skala
nasional, ada tiga program yang diterapkan untuk memperkuat ketahanan pangan
itu yakni peningkatan produksi pertanian, pengendalian alih fungsi lahan
pertanian, dan mengurangi konsumsi beras.
Dalam realitanya, lanjut Setyo Purwadi hasil yang didapatkan sering belum
memuaskan meski pemerintah selalu mengeluarkan anggaran besar, termasuk
pemberian pupuk untuk meningkatkan produksi pertanian masyarakat. Alih fungsi
lahan yang terus terjadi dan pesatnya pertambahan jumlah penduduk telah
mempengaruhi produksi pertanian masyarakat. Produksi beras terkadang belum
sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat.
Selain meningkatkan produksi pertanian dengan berbagai cara, pengendalian
alih fungsi lahan pertanian dilakukan dengan membuka lahan baru (lahan
tidur), kata Setyo, perlu juga diciptakan sebuah program yang dapat
mengurangi konsumsi beras dan memperkuat ketahanan pangan, antara lain dengan
memanfaatkan kearifan lokal yang cukup banyak terdapat di tanah air.
"Dari ketiga program skala nasional itu, konsep pengurangan konsumsi
beras diperkirakan paling efektif untuk memperkuat ketahanan pangan,
khususnya di Sumut. Hal itu dilakukan agar beras yang menjadi makanan utama
masyarakat dapat dihemat dan digunakan pada masa sulit," paparnya.
Program diversifikasi pangan dengan menggali kearifan lokal diharapkan dapat
diterapkan di Sumut, bahkan secara nasional. Siapa yang tak kenal dengan ubi
(singkong) dan ubi jalar yang sudah sejak lama tumbuh subur di daerah Sumut.
Ubi dalam bahasa Batak berarti ‘gadong’ dan makan ubi berarti ‘manggadong’.
Manggadong menjadi salah satu tradisi dan budaya konsumsi yang telah
diterapkan leluhur etnis Batak sejak dulu.
"Manggadong adalah budaya etnis Batak yang mengonsumsi ketela sebagai
makanan pembuka sebelum menikmati nasi. Dengan menikmati ketela terlebih
dulu, masyarakat Batak tidak perlu mengonsumsi nasi terlalu banyak karena
perutnya telah terisi dengan makanan tersebut," jelasnya.
Menggali Sejarah
Dengan adanya tradisi yang sudah ada sejak jaman dulu ini, kata Setyo, tak
ada salahnya dibangkitkan kembali. Ada harapan, konsep yang diterapkan di
Sumut ini dapat menjadi program nasional sehingga konsumsi rakyat terhadap
beras dapat dikurangi. Manggadong, seperti disampaikan Setyo, juga didesain
untuk mempromosikan ketahanan pangan. Yakni dengan mensosialisasikan
penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal di Sumut. Tradisi
ini dimaknai sebagai suatu "kearifan lokal".
Beberapa waktu lalu, Pemerintah Propinsi Sumatera Utara (Pemprovsu)
bekerjasama dengan BKP, Universitas Sumatera Utara (USU), mahasiswa serta
siswa-siswi sekolah lanjutan di Medan berhasil memecahkan rekor MURI untuk
kategori peserta terbanyak makan ubi jalar atau manggadong dengan peserta 18.829
orang. Rekor tersebut memecahkan rekor sebelumnya di Sulawasi Tengah dengan
jumlah peserta 10.279 orang.
Apakah program dan sosialisasi penganekaragaman konsumsi pangan ’manggadong’
ini hanya berhenti pada perolehan Rekor MURI - Setelah itu, langkah apa yang
akan dilakukan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Jika kita kembali
menggali sejarah manggadong di kalangan orang Batak, ada persepsi yang
kemudian menjadi alasan mengapa kebiasaan manggadong semakin ditinggal di
Sumut.
Bagi sebagian suku Batak pada masa lalu sampai sekarang, mengonsumsi nasi
dianggap sebagai "kemewahan" dan ubi diasosiasikan sebagai
"simbol kemiskinan". Persepsi ini, di satu sisi, melahirkan suatu
sikap terhadap nasi dan ubi. Para orang tua sangat mengharamkan untuk membiarkan
sebutir padi atau beras terbuang sia-sia. Mereka selalu mengajarkan agar
setiap orang menghargai padi dan nasi. Pada saat makan, anak-anak dilarang
membuang sebutir nasi, secara tidak sengaja dan apalagi sengaja. Bila
ketahuan akan mendapat ganjaran.
Di sisi lain, persepsi tentang ubi sebagai "simbol kemiskinan"
telah membuat beberapa orang Tapanuli tidak mau atau menolak memakan ubi.
Barangkali, persepsi tersebut juga memiliki signifikansi terhadap motif
agresivitas mereka merantau meninggalkan bona pasogit (kampung halaman).
Mereka berhasrat untuk "keluar dari kemiskinan" dan membentuk citra
masa depan yang ditandai dengan pola konsumsi tidak manggadong lagi.
Ini mengindikasikan bahwa semangat merantau itu, meminjam ungkapan Pramoedya
Ananta Toer dalam novel Cerita dari Jakarta (1957), juga diwarnai anggapan
bahwa "dalam kampung kita, kemiskinan telah membunuh semua
cita-cita." Termasuk cita-cita untuk mengubah jenis makanan yang
dikonsumsi sebagai cermin status sosial.
Lantas, apa yang salah dengan ubi atau singkong - Apakah dengan mengonsumsi
singkong seseorang langsung melekat dengan simbol kemiskinan - Sebutan
demikian semakin memojokkan nasib singkong untuk dikategorikan sebagai
makanan inferior. Masyarakat Indonesia pun semakin lama semakin sedikit
jumlahnya yang mau mangonsumsi singkong. Bahkan di kalangan masyarakat Batak
yang dulu melakoni pola makan menggadong secara perlahan melupakan kearifan
lokal ini dan menjadikan beras sebagai makanan pokok dan utama. Serbuan
restoran fast food di kota-kota besar semakin menambah daftar pilihan
masyarakat dalam memilih makanan.
Munculnya kembali kampanye manggadong sebagai salah satu kearifan lokal Sumut
diharapkan dapat menyadarkan masyarakat akan arti pentingnya ketahanan pangan
nasional. Menurut Kepala Pusat Penelitian Ketahanan Pangan dan Agribisnis
Lembaga Penelitian USU Ir Hasudungan Butar-butar, program manggadong dengan
menjadikan ubi atau ketela sebagai makanan pembuka sebelum nasi perlu
didukung, karena ketersediaan beras di Sumut mulai mengkhawatirkan.
"Dengan kondisi seringnya anomali cuaca dan banyaknya alih fungsi lahan,
produksi beras sangat fluktuatif dan bahkan terus menunjukkan tren menurun.
Ironisnya, tingkat konsumsi masyarakat Sumut terhadap beras cenderung
meningkat dan mencapai 139 kilogram per kapita per tahun. Padahal, beberapa
tahun lalu hanya sekitar 125 kilogram per kapita per tahun," paparnya.
Pihaknya juga sangat mendukung upaya Pemprov Sumut melakukan diversifikasi
pangan, termasuk dengan mengampanyekan manggadong. Jika tidak ada
diversifikasi, dikhawatirkan upaya menciptakan ketahanan pangan di Sumut
sulit dilakukan dan dapat berujung pada terciptanya masyarakat yang lapar.
Dukungan yang disampaikan Hasudungan Butar-butar juga senada dengan salah
seorang Anggota Komisi B DPRD Sumut, Layari Sinukaban. Dimana, Layari
menyambut baik adanya upaya pemerintah dalam melakukan diversifikasi pangan
untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Salah satu upaya yang dilakukan
di Sumut adalah manggadong. Konsep ini perlu dikampanyekan untuk memperkuat
ketahanan pangan. Selain bermanfaat mengurangi ketergantungan terhadap beras,
program ini juga diperkirakan dapat menyemarakkan keanekaragaman kuliner di
Tanah Air yang sempat hilang pada masa Ode Baru.
Ketika masyarakat telah merasakan manfaat dari manggadong, lanjutnya, secara
otomatis masyarakat akan mengurangi sendiri konsumsi beras dalam kehidupan
sehari-hari. Program manggadong ini sebenarnya bisa digiring ke arah yang
lebih modern. Yaitu, mengolah ubi, jagung atau sagu menjadi kue, kolak,
keripik, tape atau bentuk olahan lainnya yang lebih menggugah selera. Anjuran
agar beberapa restoran menyediakan ubi sah-sah saja asal jangan diintervensi.
Program diversifikasi terus dijalankan, namun yang terpenting adalah, jangan
ambil kebijakan pengurangan pasokan beras.
Sukses tidaknya kampanye ’manggadong’ serta kearifan lokal di daerah lain di
Indonesia, sangat ditentukan oleh seluruh elemen yang terlibat langsung
dengan sektor pertanian, khususnya Dinas Pertanian dan BKP. Segala bentuk kebutuhan
untuk memproduksi ubi, mulai dari pupuk, bibit hingga penyuluhan bercocok
tanam harus diutamakan agar makanan pengganti nasi itu selalu mudah
didapatkan masyarakat.
Tersedianya bahan pangan dalam jumlah memadai dengan harga terjangkau dan
kualitas yang baik akan memengaruhi keputusan konsumen dalam
menganekaragamkan konsumsinya. Meski dianjurkan untuk mengonsumsi ubi atau
jagung selain beras, bila barangnya susah didapat dan harganya tidak
terjangkau, maka anjuran itu akan sulit terlaksana. Sekaranglah saatnya kita
bergandeng tangan mewujudkan ketahanan pangan dengan menggali kearifan lokal
di daerah masing-masing.
* Penulis adalah jurnalis tinggal di Medan
Sumber. http://www.analisadaily.com
|